Lanjutan dari Tadabbur Ayat 51 Al Mu'minun, Ayat 52 yang membahas tentang agama tauhid, agama yang satu dan Allah. Serta perintah tentang bertakwa pada Allah SWT, yakni menjalankan PerintahNya dan menjauhi LaranganNya. Kita akan bahas detailnya ya? Mengapa makanan begitu sangat erat kaitannya dengan perintah takwa.
TADABBUR QURAN: AL MU'MINUN AYAT 52
Kebutuhan dasar manusia dalam hidup adalah makan dan minum, kedua hal ini seolah menjadi karakteristik dasar manusia yang bila tidak dipenuhi, maka dia akan mati. Dan menariknya Al Quran itu langsung membahas tentang asal muasal makanan yang kita konsumsi. Artinya kita tidak bisa menyepelakannya begitu saja. Karena makanan ini tidak hanya berfungsi untuk menyehatkan jasmani, tetapi juga berpengaruh terhadap rohani dan mental kita.Makanan halal dan baik adalah pondasi spiritual, yang memengaruhi hati, jiwa, dan tubuh. Jika pondasi ini rusak (misalnya dari yang haram atau syubhat), maka amal bisa tertolak atau kehilangan nilai.
Sementara Al Mu'minun 52 memperluas cakupan dari perintah amal shalih dalam ayat sebelumnya. Semua nabi membawa agama yang satu, yaitu agama tauhid yang bersih dari syirik dan penuh dengan amal shalih. Maka untuk menjadi bagian dari umat ini, seseorang harus memperhatikan seluruh aspek, termasuk sumber makanannya — karena makanan bisa menguatkan atau melemahkan nilai ketakwaan.
Tafsir Tahlili
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:وَاِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ"Sesungguhnya (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Akulah Tuhanmu. Maka, bertakwalah kepada-Ku.”Al-Mu'minūn [23]:52
Ayat ini menegaskan bahwa semua rasul membawa agama yang sama dalam prinsip dasarnya, yaitu tauhid, menyembah Allah Yang Maha Esa tanpa menyekutukan-Nya. Tidak ada satu pun rasul yang menyimpang dari prinsip ini. Jika ada ajaran yang mengandung syirik atau penyimpangan dari tauhid, maka itu bukan berasal dari para rasul, melainkan hasil perubahan oleh manusia setelahnya.
Meskipun syariat (aturan-aturan ibadah dan hukum) yang dibawa masing-masing rasul bisa berbeda sesuai zaman dan tempat, inti ajaran tauhid tetap satu dan tidak berubah. Karena itu, Allah menyeru agar seluruh manusia hanya menyembah dan bertakwa kepada-Nya, Tuhan semesta alam.
Rasulullah ﷺ menegaskan hal ini dalam sabdanya:
"Kami para nabi adalah seperti saudara-saudara seayah, agama kami satu."
(HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Perumpamaan “saudara seayah” menggambarkan bahwa walaupun ada perbedaan syariat (seperti anak dari ibu yang berbeda), mereka tetap satu dalam asal ajaran dan misi ilahiah. Ini menguatkan bahwa Islam bukan ajaran baru, melainkan kelanjutan dari risalah para nabi terdahulu yang satu jalan dalam menyampaikan petunjuk Allah kepada umat manusia
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh para rasul membawa agama yang satu, yaitu agama tauhid — Islam. Allah menyatakan bahwa meskipun para rasul diutus kepada umat dan masa yang berbeda-beda, mereka semua sepakat dalam pokok ajaran: menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya. Maka, agama yang benar dan lurus adalah yang menjaga kemurnian tauhid tersebut.
Allah juga memerintahkan para rasul untuk bertakwa kepada-Nya, yaitu dengan melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketakwaan ini adalah inti dari perjalanan kenabian dan misi dakwah para utusan Allah. Dengan demikian, ajaran Islam bukanlah agama baru, melainkan kelanjutan dari risalah para nabi sebelumnya yang semuanya mengajak kepada ketundukan kepada Allah.
Oleh karena itu, umat Islam — sebagai pengikut para rasul — dituntut untuk mengikuti jalan hidup mereka. Allah juga memerintahkan kepada orang-orang beriman agar mengonsumsi rezeki yang halal dan baik serta bersyukur kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa perintah kepada para rasul dan umatnya adalah satu garis yang lurus: menjaga kemurnian ibadah dan amal, termasuk dalam hal-hal mendasar seperti makanan.
Tafsir Al Muktasar dan Tafsir Sa'di
Allah juga memerintahkan para rasul untuk bertakwa kepada-Nya, yaitu dengan melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketakwaan ini adalah inti dari perjalanan kenabian dan misi dakwah para utusan Allah. Dengan demikian, ajaran Islam bukanlah agama baru, melainkan kelanjutan dari risalah para nabi sebelumnya yang semuanya mengajak kepada ketundukan kepada Allah.
Oleh karena itu, umat Islam — sebagai pengikut para rasul — dituntut untuk mengikuti jalan hidup mereka. Allah juga memerintahkan kepada orang-orang beriman agar mengonsumsi rezeki yang halal dan baik serta bersyukur kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa perintah kepada para rasul dan umatnya adalah satu garis yang lurus: menjaga kemurnian ibadah dan amal, termasuk dalam hal-hal mendasar seperti makanan.
Relasi Makanan dan Ketakwaan Pada Allah SWT
Memperhatikan apa yang kita makan sering dianggap hal remeh, padahal dalam pandangan Islam, ini adalah fondasi penting dalam membentuk amal yang diterima oleh Allah SWT. Surat Al-Mu’minun ayat 51 menegaskan bahwa Allah memerintahkan para rasul untuk memakan makanan yang halal dan baik, lalu mengerjakan amal shalih.
Ini menunjukkan bahwa amal shalih tidak berdiri sendiri, tetapi dibangun dari sesuatu yang mendasar, yakni asupan yang halal dan berkualitas. Makanan bukan hanya nutrisi bagi tubuh, tetapi juga bekal spiritual bagi hati dan amal.
Selanjutnya, ayat 52 menegaskan bahwa ketakwaan kepada Allah adalah jalan hidup seluruh nabi, yang mengajarkan tauhid sebagai pusat dari segala amal. Ini memperkuat bahwa ketaatan dan ibadah bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang bagaimana kita mengatur urusan duniawi seperti makanan, pekerjaan, dan interaksi sosial.
Jika para rasul saja diperintahkan untuk menjaga apa yang mereka konsumsi agar bisa maksimal dalam amal dan dakwah mereka, maka kita sebagai pengikut mereka juga semestinya lebih berhati-hati dalam hal ini.
Koneksi antara ayat 51 dan 52 memberi kita pelajaran penting bahwa dalam Islam, tidak ada dikotomi antara dunia dan akhirat. Makanan yang halal menjadi jalan menuju amal shalih yang diterima, dan amal shalih yang sesuai dengan tauhid menjadi bentuk ketakwaan yang sejati.
Dalam praktik sehari-hari, kita bisa mulai dengan menjaga kehalalan rezeki, menyaring apa yang kita konsumsi, lalu memastikan setiap tindakan kita dilandasi niat baik dan sesuai syariat. Dengan begitu, hidup kita menjadi ibadah yang utuh — dimulai dari hal kecil, namun berdampak besar pada sisi ruhani dan akhirat.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏