TADABBUR QURAN: AL MAIDAH 48

TADABBUR QURAN: AL MAIDAH AYAT 48

[ewafebri.com] | TADABBUR QURAN: AL MAIDAH AYAT 48.

Sejarah kenabian menunjukkan bahwa Allah menurunkan kitab-kitab suci kepada para rasul sebagai petunjuk hidup bagi umat manusia sepanjang zaman. Taurat diberikan kepada Nabi Musa, Injil diturunkan kepada Nabi Isa, dan akhirnya Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai penutup risalah kenabian. 

Ketiga kitab ini membawa pesan yang sama dalam inti ajarannya: tauhid. Namun, masing-masing memiliki syariat yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi umatnya. Al-Qur’an hadir tidak hanya membenarkan kitab-kitab sebelumnya, tetapi juga sebagai penyempurna dan penjaga kebenaran yang tetap terpelihara. 

Allah menegaskan bahwa kebatilan tidak akan mampu mendekatinya, baik dari depan maupun dari belakang (Fuṣṣilat: 42), menjadikannya petunjuk yang abadi bagi seluruh umat manusia.

TADABBUR QURAN: AL MAIDAH AYAT 48

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ

Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya). Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.

Al-Mā'idah [5]:48

Dalam ayat 48 surah Al-Mā’idah, Allah menjelaskan bahwa perbedaan syariat bukanlah bentuk pertentangan, melainkan ujian keimanan dan kesempatan untuk berlomba dalam kebaikan. Setiap umat diberi hukum dan jalan hidup masing-masing agar mereka dapat menyucikan jiwa dan menegakkan nilai-nilai ilahiah di tengah dinamika zaman. 

Maka, ketika Al-Qur’an diturunkan, ia menjadi satu-satunya pedoman yang berlaku hingga akhir zaman. Ketaatan terhadap Al-Qur’an bukan hanya soal keimanan, melainkan bentuk penerimaan terhadap rahmat terbesar Allah bagi umat manusia: wahyu yang sempurna, menyeluruh, dan selaras dengan fitrah. 

Dialog Kebenaran dan Kejujuran Wahyu

Bayangkan sebuah majelis di Madinah, saat sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Di tangan mereka, ada sebuah kasus yang rumit, dua orang dari kalangan mereka melakukan perzinaan. Hukum Taurat sudah jelas, tapi mereka mencari celah. Bukan karena mereka tidak tahu, tapi karena berat menerima kebenaran yang tidak sesuai kehendak.

Mereka ingin melihat apakah Nabi Muhammad ﷺ akan mengabaikan hukum Taurat ataukah memihak mereka. Namun, Allah lebih dulu mengutus wahyu sebagai jawaban sebelum fitnah berkembang. 

Ayat ini turun sebagai penegas: bahwa Al-Qur’an datang membawa kebenaran, bukan hanya menyambung risalah para nabi terdahulu, tapi juga sebagai penjaga dan penguji keaslian pesan sebelumnya. Nabi diperintahkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka, tidak tergoda kompromi, dan berdiri kokoh di atas wahyu.

Di balik peristiwa ini, Allah menyingkap kearifan-Nya: bahwa perbedaan syariat bukan untuk memecah, melainkan untuk mengasah siapa yang paling tulus dalam kebaikan. Umat-umat terdahulu punya aturan dan jalan masing-masing, dan umat Nabi Muhammad ﷺ diberi Al-Qur'an sebagai petunjuk paling sempurna. Maka daripada berselisih dalam ego agama, ayat ini mengajak: "Fastabiqū al-khairāt", berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Sejarah Sosial-Politik Madinah dan Toleransi

TADABBUR QURAN: AL MAIDAH AYAT 48 Part 2

Setelah Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah, beliau tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, tapi juga kepala negara yang harus mengatur masyarakat majemuk. Di kota itu hidup bersama kaum Muslimin, Yahudi, dan sebagian kecil kaum Nasrani. Masing-masing komunitas memiliki kitab dan aturan hukum sendiri, terutama Yahudi yang masih memegang sebagian ajaran Taurat.

Namun dalam praktiknya, sebagian tokoh Yahudi kerap menyembunyikan atau mengganti isi kitab mereka. Mereka juga kerap mencoba menguji Nabi Muhammad ﷺ dengan persoalan-persoalan hukum, berharap beliau memberi keputusan yang memihak. 

Salah satunya terjadi ketika mereka membawa kasus perzinaan yang pelakunya berasal dari kalangan terpandang. Dalam Taurat, hukumannya jelas: rajam. Tapi mereka berharap Nabi akan memberi hukuman yang lebih ringan.

Pada saat itulah Allah menurunkan ayat ini—Al-Mā'idah ayat 48—untuk menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang diturunkan dengan kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjadi penjaga serta penguji kebenaran mereka. Nabi diperintahkan untuk berhukum hanya berdasarkan wahyu Allah, bukan tekanan politik atau harapan sosial. 

Allah juga mengingatkan bahwa tiap umat memiliki syariatnya masing-masing dan tujuan dari keberagaman ini adalah ujian, bukan pertentangan. Maka solusinya bukan debat tak berujung, melainkan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Amalan Apa Yang Kita Pelajari Di Masa Kini Berdasarkan Al Maidah 48?

Ayat Al-Mā’idah [5]:48 bukan hanya berbicara tentang sejarah turunnya kitab suci, tetapi juga mengandung banyak pelajaran praktis yang bisa diamalkan dalam kehidupan masa kini. Berikut beberapa amalan yang bisa kita terapkan:

1. Menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam hidup

"Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah..."

Kita diajarkan untuk merujuk kepada Al-Qur’an dalam mengambil keputusan, baik dalam perkara pribadi, sosial, maupun moral. Di era informasi yang penuh opini dan hawa nafsu, penting untuk menjadikan nilai-nilai Qur’ani sebagai fondasi berpikir dan bertindak. 

Misalnya: memprioritaskan kejujuran dalam bisnis, adil dalam menyelesaikan konflik, dan bijak dalam menyikapi perbedaan.

2. Tidak mengikuti hawa nafsu atau tekanan sosial dalam menentukan kebenaran

"...dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu."

Kebenaran sering kali menuntut keberanian. Ayat ini mengingatkan kita agar tidak mengorbankan prinsip demi kepentingan sesaat, popularitas, atau tekanan kelompok. Di masa sekarang, ini bisa diartikan sebagai berani bersikap jujur meski tidak populer, atau menolak ajakan yang bertentangan dengan nilai kebenaran meski mayoritas melakukannya. Apalagi bila hal ini menyangkut keluarga. 

Terkadang kita menormalisasi kesalahan—yang jelas—maksiat menurut Al Quran hanya karena yang melakukannya adalah keluarga kita sendiri.

3. Menghargai keragaman syariat dan agama lain tanpa merasa superior

"Untuk setiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang..."

Ayat ini mengajarkan toleransi dan sikap saling menghormati antarumat beragama. Dalam kehidupan multikultural, penting bagi kita untuk hidup berdampingan tanpa memaksakan keyakinan kepada orang lain, sembari tetap teguh dalam iman. Bahwa setiap umat memiliki jalannya masing-masing, dan ujungnya semua akan kembali kepada Allah.

4. Berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat)

"Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan."

Ayat ini adalah panggilan untuk tidak hanya berhenti pada iman, tetapi membuktikannya lewat amal nyata. Di zaman modern, ini bisa berarti aktif dalam kegiatan sosial, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menjadi relawan, atau sekadar memperbaiki akhlak dalam kehidupan sehari-hari. 

Kebaikan bukan hanya ritual, tapi respons terhadap kehidupan.

Tadabbur atas ayat ini mengajak kita merenungi bahwa keberagaman dalam sejarah syariat seharusnya mendorong kita untuk lebih dalam memahami makna kesatuan dalam tauhid, bukan terjebak dalam ego sektarian.

Posting Komentar

0 Komentar