MONOLOG SERIES: WISHLIST

|MONOLOG SERIES: WISHLIST


[ewafebri.com] |MONOLOG SERIES: WISHLIST. 

Mendung menjadi pertanda bahwa hari ini, hidupku tidak akan baik-baik saja. Belakangan overthinking-ku memang sedang kambuh. Walhasil, aku sering mengingat momen-momen yang pernah membuatku luka dan sedih. 

MONOLOG SERIES: WISHLIST

"Kamu gila ya! Kenapa cowok sekeren itu kamu abaikan? Mana ada laki-laki lain yang mau sama kamu?" Suara Jingga terus membekas di dalam kepalaku. Memberiku rasa perih dan kesedihan yang tak pernah usai.

Kejadian hari itu adalah hal yang paling sulit kulupakan, karena tanpa kusadari Jingga sedang menelanjangi perasaanku terhadap seseorang yang selalu hadir dalam bayangan. Sosok yang entah apa pun yang terjadi dalam hidupku, selalu dikirimkan Tuhan untuk menemani kesepianku, meski hanya dalam bayang-bayang rindu.

Sadar Diri

Sadar diri

Ya, aku memang gila. Aku memilih pergi dari setiap kisah yang aku jalani. Bukan, bukan karena aku ingin memilih yang lain dan berganti ke lain hati. Aku pun ingin lupa diri dan terpenjara dalam pesonanya. 

Tapi aku sadar diri! Aku tidak memiliki rasa percaya diri untuk memperjuangkan cinta itu. Apalagi memilikinya. Dia terlalu tinggi untuk kugapai!

Dalam benakku, perbedaan kami antara langit dan bumi. Aku tidak akan pernah ada dalam wishlist-nya. Jadi mengapa aku harus menghabiskan waktuku untuk mengiba? Hanya dengan bertegur sapa dalam dunia maya saja, sudah membuatku bahagia! Aku tidak ingin merusak keindahan itu. 

Aku bukan Jingga yang bisa dengan mudah mengutarakan maksud hatiku. Dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dia mampu memikat hati laki-laki dengan pesonanya. 

Sementara aku? Entah berapa tahun aku mengumpulkan keberanian hanya untuk mengatakan "Halo". Kalian bahkan tidak pernah tahu berapa banyak jurus menghindar yang aku pelajari, agar aku tidak jadi patah hati pada jiwa yang sama berkali-kali. Percayalah, itu sangat menyiksa!

Ah, seandainya Jingga tahu bagaimana aku berjuang hanya agar kalimat "apa kabarmu?" keluar dari mulutku, tentu dia tidak akan mengataiku seperti itu. 

Tapi, dahlah! Percuma aku memberikan penjelasan panjang lebar jika dia tidak pernah menjadi diriku. Biarkan saja dia berpikir seperti itu. Aku sudah lelah berceramah.

Mungkin aku harus banyak belajar dari Rumi, bahwa mencintainya dalam keheningan, akan menyelamatkanku dari penolakan. 

Dan bukankah mencintai jiwa akan lebih kekal selamanya? Karena aku terbebas dari keinginan memiliki jasadnya. Dan cinta itu akan tetap menyala meski dalam kesunyian yang tak kasat mata.

Dan sela-sela berisiknya suaraku yang menggema di kepala, kudengar suara Jingga yang menyadarkanku dari lamunan.  

"Berhentilah sekarang! Jangan lagi berlari ke sana kemari mencari pengganti. Tubuhmu sudah renta untuk melakukan itu." Untuk terakhir kalinya, Jingga menasihatiku. Aku hanya diam dan mengangguk pelan. 

Sayang, Aku sudah pulang!

Post a Comment

0 Comments