MONOLOG SERIES: SIKLUS KEHIDUPAN

MONOLOG SERIES: SIKLUS KEHIDUPAN

[ewafebri.com] | MONOLOG SERIES: SIKLUS KEHIDUPAN. 

Manusia, pada hakikatnya, adalah jiwa yang asing terhadap dunia ini, seperti tamu di negeri yang bukan miliknya. Dunia ini, dengan segala keindahannya, seperti penjara bagi jiwa yang menuntut kebebasan sejatinya. 

MONOLOG SERIES: SIKLUS KEHIDUPAN

Dalam karya Albert Camus, L'Étranger, absurditas kehidupan menempatkan manusia sebagai orang asing yang terus mencari makna. Namun, mencintai dunia ini secara berlebihan menciptakan kemelekatan yang dalam, menjadikan kita terikat pada hal fana yang akhirnya menjadi dinding penjara yang menahan jiwa kita.

Saya jadi ingat bagaimana kematian menghampiri dan mengajarkan sesuatu yang penting dalam hidup ini. Bahwa ia datang kapan saja, tanpa kita bisa menebaknya. Dan ia bisa pergi begitu saja, di saat kita merasa siap untuk kembali. Jadi, tak ada yang tahu pasti, "kapan hal itu terjadi", kecuali hanya Illahi Robbi. 

Kelahiran 

proses kelahiran manusia di dunia

Kehidupan manusia adalah perjalanan panjang yang bermula dari ketiadaan. Sebelum kita lahir, kita berada dalam alam ruh, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-A’raf: 172

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." ~ QS. Al-A’raf: 172

Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan kita bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari rencana ilahi. Dalam filsafat, Plato juga berbicara tentang anamnesis, konsep bahwa jiwa manusia telah memiliki pengetahuan sebelum lahir dan kehidupan ini adalah proses mengingat kembali kebijaksanaan yang telah ada dalam diri.

Setelah melewati fase alam ruh, manusia lahir ke dunia dalam keadaan fitrah—suci tanpa dosa, sebagaimana sabda Rasulullah, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muslim). 

Ini menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki potensi kebaikan yang murni, tetapi lingkungan dan pilihan hidup akan membentuk jalan mereka. Filsuf Muslim seperti Ibn Sina menekankan pentingnya pendidikan dan pengalaman dalam membentuk karakter manusia, menegaskan bahwa akal dan jiwa berkembang seiring interaksi dengan dunia.

Pun dalam konsep Jungian yang baru-baru ini saya pelajari tentang ketidaksadaran kolektif, di mana dalam ketidaksadaran ini menyimpan pengetahuan (blue print) yang sudah tertanam sejak dahulu (DNA). Dan petualangan kita di dunia, salah satunya untuk mengumpulkan pengetahuan dalam ketidaksadaran itu. 

Kehidupan

Siklus kehidupan

Masa muda adalah puncak kekuatan manusia, di mana hasrat dan ambisi memuncak. Namun, dalam Islam, manusia diingatkan agar tidak tertipu oleh kesenangan dunia. 

Allah berfirman dalam QS. Al-Kahfi: 45,

“Perumpamaan kehidupan dunia ini hanyalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga ketika bumi itu telah sempurna keindahannya, datanglah perintah Kami pada malam atau siang hari, lalu Kami jadikan ia laksana tanaman yang sudah dipanen, seakan-akan belum pernah tumbuh sebelumnya.”
 

Ini mengingatkan bahwa segala yang kita kejar di dunia hanyalah fana, dan kebijaksanaan sejati adalah memahami keterbatasan kehidupan.

Saat memasuki masa tua, manusia mulai menyadari bahwa kehidupan ini hanyalah persinggahan sementara. 

Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menyebutkan bahwa kebahagiaan tertinggi (eudaimonia) tidak terletak pada harta atau kesenangan sesaat, melainkan pada pencapaian kebajikan dan makna hidup. 

Dalam Islam, usia senja adalah waktu untuk semakin mendekat kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS. Yasin: 68, “Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami kembalikan dia kepada keadaan lemah kembali. Maka apakah mereka tidak mengerti?” Ini menjadi peringatan bahwa kehidupan adalah siklus yang kembali pada titik awal—dari kelemahan menuju kelemahan.

Kemelekatan pada dunia adalah jebakan yang penuh godaan. Segala sesuatu yang terlihat indah dan mengagumkan sering kali membentuk dinding-dinding penjara bagi jiwa yang merindukan kebebasan sejati. 

Hidup di dunia bukanlah sebuah akhir, melainkan persinggahan sementara dalam perjalanan panjang yang tidak berujung di sini. Kecintaan yang berlebih pada kehidupan duniawi hanya akan membawa penderitaan saat kita harus berpisah darinya, karena perjalanan sejati dimulai setelah kita meninggalkan dunia ini.

Kematian

Kematian adalah kebebasan manusia dari penjara kemelekatan

Kematian adalah gerbang menuju kehidupan yang lebih hakiki. Dalam filsafat Stoikisme, kematian dipandang sebagai sesuatu yang harus diterima dengan ketenangan, karena ia adalah bagian alami dari siklus kehidupan. 

Islam lebih jauh menegaskan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan abadi. QS. Al-Mulk: 2 menyatakan, “(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” 

Dengan memahami ini, manusia seharusnya mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati, bukan hanya dengan ibadah, tetapi juga dengan meninggalkan jejak kebaikan bagi dunia.

Pada akhirnya, kehidupan manusia adalah perjalanan kembali kepada Allah. Dari ruh yang bersaksi, tubuh yang tumbuh, hingga akhirnya kembali ke tanah, semua adalah bagian dari siklus yang telah ditetapkan. 

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menekankan bahwa kehidupan manusia, seperti sejarah, bergerak dalam siklus yang berulang, dan yang paling beruntung adalah mereka yang memahami pola ini dan mengambil hikmahnya. 

Maka, kebijaksanaan sejati adalah menerima setiap fase kehidupan dengan kesadaran bahwa semuanya mengarah pada satu tujuan: kembali kepada Sang Pencipta dalam keadaan terbaik.

Kematian, dalam pandangan ini, bukanlah akhir yang menakutkan, melainkan kebebasan dari kemelekatan duniawi yang membebani. Namun, jika kita tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian, konsekuensi dari cinta yang berlebihan terhadap dunia ini akan terbawa ke dalam kekekalan. 

Kehidupan di dunia hanyalah awal dari perjalanan panjang menuju sesuatu yang lebih abadi, dan bagaimana kita menjalani kehidupan ini menentukan bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan tersebut. 

Jiwa, yang selama ini terpenjara oleh keindahan dunia, akhirnya menemukan kebebasan sejatinya dalam kematian.

Apa yang sudah kamu siapkan untuk kebebasan dalam keabadianmu? 

Post a Comment

0 Comments