MONOLOG SERIES: MENANAM AMAL

MONOLOG SERIES: MENANAM AMAL


[ewafebri.com] | MONOLOG SERIES: MENANAM AMAL.

Sore itu Aku dan Jingga memutuskan untuk makan malam di luar. Rasanya kami sudah kangen makan di kedai-kedai area pengkolan. Kali ini, kami ingin menikmati mie ayam yang slebew rasanya. Ya, meski namanya mie ayam, tapi tempatnya mirip yatai di Jepang. 

MONOLOG SERIES: MENANAM AMAL


"Lara, bukankah itu wanita yang kemarin menamparmu?" Tanya Jingga di sela-sela kami menikmati semangkuk mie ayam di wilayah pengkolan.

Aku hanya menengok ke arah yang dimaksud Jingga, tanpa banyak meresponnya. Aku hanya mengangguk pelan dan kembali menikmati mie ayam yang ada di hadapanku.

Aku sadar Jingga merasa gemas dengan tingkah lakuku, "Eh, kok kamu diam aja sih, dia kan kemarin belum minta maaf karena tamparan itu." Tanya Jingga padaku dengan wajah memerah.

Entahlah, rasanya aku malas meladeni drama yang gak penting. Bagiku, memenuhi nafsu makanku dengan mie ayam lebih utama dibandingkan permintaan maaf wanita itu.

Menanam amal

 
Jujur, aku lebih khawatir mie ayam ini menjadi lembek dan benyek dibandingkan masalah kemarin.

"Laraaaaa!" Hentak Jingga sedikit keras. Aku pun menengok ke arahnya.

"Dahlah, Ngga! Biarin aja mereka menikmati makanannya. Gak usah dibikin masalah yang kemarin." Responsku tenang.

"Enggak bisa begitu! Setidaknya dia harus meminta maaf karena salah orang. Lagian main tampar aja!" Sahut Jingga kesal.

"Udahlah, biarin! Cepat atau lambat mereka juga akan menikmati seperti yang kurasakan kemarin. Nggak perlu dipusingin. Mereka kan kemarin menanam bibitnya. Pasti akan mendapatkan buahnya juga." Jawabku dengan hati-hati.

Aku dan Jingga adalah pribadi yang berbeda, setidaknya di masa sekarang. Jingga anaknya tidak sabaran, sementara aku lebih memilih hidup tenang.

Bagiku, apa yang terjadi kemarin bisa jadi buah perbuatanku di masa lalu, yang aku lupa mengingatnya. Atau mungkin saja aku hanya menjadi medium pembelajaran bagi manusia lainnya.

Yang pasti aku selalu meyakini, setiap perbuatan akan menghasilkan balasan yang sepadan. Ya, jika tidak hari ini, bisa jadi suatu saat nanti. Entah itu baik atau buruk.

Akhirnya Jingga pun terdiam. Saking sibuknya mengocehiku, mie di hadapannya kini nampak benyek dan letoy. Tak ayal, bibir Jingga mulai manyun ke depan. Sementara aku hanya bisa nyengir sambil menikmati suapan terakhir dari tanganku. 😁

Post a Comment

0 Comments