Postingan ini adalah kisah fiksi mini yang kugunakan sebagai media belajar membuat cerita fiksi, berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari. Ya, meskipun ada sebagian yang dibikin hiperbola juga, sih.
MONOLOG SERIES: KUAH BAKSO
Sejujurnya saya mengalami kesulitan dalam membuat tulisan fiksi. Karena bagi saya fiksi ini harus kaya kosakata dan emosi, mengingat setiap karakter memiliki ciri khasnya masing-masing.
Nah, bulan ini, bertepatan dengan program 30 Hari Bercerita di Instagram saya memanfaatkan untuk mengasah kemampuan saya dalam bercerita. Dan kisah fiksi ini juga akan menghiasi Monolog Series sebagai bagian dari projek personal bulan ini.
KARAKTER FIKSI MINI
Salah satu tantangan dalam membuat fiksi adalah adanya karakter yang mendukung jalannya cerita. Karakter ini akan membantu kita menghidupkan imajinasi di dalam kepala.
Jika selama ini saya sering menulis non-fiksi yang notabene lebih menitikberatkan pada penyajian informasi dan wawasan, tantangan baru saya kali ini adalah menciptakan imajinasi bagi para pembaca.
Susah? Pastinya! Tapi saya akan merasa gagal jika tidak pernah mencobanya sama sekali. Karena untuk menjadi "mudah" dan bagus, perlu ada proses terus menerus sehingga terlihat progresnya.
Dalam kisah fiksi mini kali ini, saya akan menggunakan karakter Jingga dan Lara dengan kepribadian yang berbeda. Dengan begitu, alur perbedaan pemikiran dari keduanya bisa menghasilkan dinamika dan percakapan yang saling melengkapi.
Jingga dan Lara adalah teman sebaya yang sering makan dan jalan berdua. Jingga adalah sosok yang mempesona secara fisik dan memiliki rasa percaya diri yang mumpuni. Rasa percaya diri ini bertolak belakang dengan karakternya yang mudah tersulut saat menghadapi problematika. Jingga adalah tokoh yang ingin semua masalah terkonfrontasi dengan baik, sehingga cepat selesai.
Sementara Lara adalah sosok yang lebih tenang dan cenderung pasif dalam menghadapi segala sesuatu. Lara adalah pribadi yang lebih memilih kehidupan yang tenang dan damai meski masalah menimpanya bertubi-tubi. Diam dan cuek adalah senjata terampuh yang ia gunakan dalam segala situasi.
Semoga dengan adanya perbedaan dua karakter ini, akan bisa mengulas topik-topik santai namun saling melengkapi sehingga terlihat dari perspektif hidup yang berbeda.
Dan... Berikut kisah keduanya.
CERITA FIKSI KUAH BAKSO
Malam Minggu, aku dan Jingga memutuskan untuk membeli bakso di dekat pengkolan. Musim hujan begini memang paling enak menikmati bakso pedas dan panas sambil mengamati lalu lalang jalanan kota.
Sesampainya di tempat, kami pun pesan dua mangkok bakso beserta minumannya. Pak Ogah adalah pemilik warung bakso yang ramah. Ia selalu menyajikan dagangannya dengan senyum kepada setiap pelanggannya. Hal ini membuat warungnya nampak lebih ramai dibandingkan warung lainnya. Apalagi tempatnya sangat strategis dan tentu karena harganya pun bersahabat.
Tak hanya bakso, Pak Ogah juga menyediakan menu tambahan lainnya seperti mie ayam, es campur dan batagor.
Saat menunggu pesanan, mendadak seorang wanita paruh baya tergesa-gesa menuju meja kami. Tanpa banyak pertanyaan, tiba-tiba dia mengayunkan tangannya dengan sangat cepat dan keras. Aku pun tersentak kaget. Mendadak pipiku terasa kebal–berubah menjadi panas.
Wanita itu hendak mengayunkan tangannya untuk kedua kalinya, tapi tangan Jingga lebih singgap untuk menangkapnya. Dengan kuat, Jingga menghempaskan tangan wanita itu ke udara.
"APA-APAAN INI?" kudengar suara Jingga meninggi dan bergetar. Sementara aku hanya bisa terpaku dan terdiam. Perlahan kusentuh pipiku yang mulai terasa perih.
"Heh, Betina! Gak usah sok nggak ngerti, ya! Mana suami gw?" Tanya wanita itu mengarah padaku. Dia hendak mendorongku, tapi Jingga mendorongnya lebih dulu.
"Suami? Mana kita tahu suami lu! Sinting!" Sahut Jingga sewot. "Lara, jangan diam aja! Jawab! Nanti dikiranya kita bajingan." Ucap Jingga kepadaku.
Aku ingin sekali berteriak, tapi lidahku terasa kelu. Akhirnya hanya senyuman yang bisa kupertontonkan.
Di salah satu sudut warung bakso Pak Ogah, mendadak terdengar jeritan histeris gadis remaja. "Papa Jahat! Papa brengsek! Pulang!" Teriaknya sambil merenggut badan sang Ayah dari pelukan seorang wanita muda.
Seketika, wanita paruh baya itu menengok ke arah asal suara. Matanya terbelalak dengan mulut menganga. Dia pun berlari ke arah gadis remaja yang histeris dan mulai memukuli laki-laki yang dipanggil si gadis "PAPA" itu.
Jingga yang bingung, menengok ke arahku. Kuraih semangkok bakso panas yang disodorkan Pak Ogah dari seberang meja. Aku mulai membumbui bakso itu dengan rasa favoritku: pedas dan asam.
Namun, kali ini rasanya sedikit berbeda, karena dalam kuah bakso itu, telah berbaur bulir-bulir air yang jatuh dari mataku.
Kami pun menikmati panasnya bakso dalam keheningan.
0 Comments
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏